Tugas pribadi
kmd ii
“tajdid/ purifikasi”
Oleh
:
Nama : Sari Asriani
NIM : 11.06.002.012.028
DOSEN
PEMBIMBING :
Ahmad Lahmi, S.Pd.I
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
(UMSB)
Tahun Ajaran 2012 M/1433 H
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji dan syukur dengan tulus
dipanjatkan ke hadirat Alloh Swt. Karena berkat taufik dan hidayah-Nya.Selawat
serta salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi besar Muhammad
Saw. Beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman, dengan diiringi upaya
meneladani akhlaknya yang mulia.
Alhamdulillah sekali kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Tajdidi dan Purifikasi ini dengan lancar,
penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dengan mata
kuliah KMD II oleh Ahmad Lahmi S.Pd.I. Makalah ini ditulis dari hasil yang
diperoleh dari buku dan media masa yang berhubungan dengan judul makalah ini.
Dan tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang telah
memberi kesempatan kepada kami untuk belajar menulis dalam bentuk Karya Ilmiyah
ini, tidak lupa pula kepada rekan-rekan yang telah memberi dukungan sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami sangat menyadari bahwa
makalah kami masih terdapat kekurangan, maka kami harapkan kritik dan saran
yang membangun untuk kedepannya. Dan mudah-mudahan upaya ini senantiasa
mendapat bimbingan dan ridha Alloh Swt. Amin Yaa Rabbal Alamin.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Satu ciri yang cukup menonjol dalam
gerakan Muhammadiyah adalah gerakan purifikasi (pemurnian) dan modernisasi (
pembaharuan) atau dalam bahasa arab “tajdid” keduanya memiliki perbedaan yang
cukup mendasar. Oleh karena itu perlu pembahasan lebih lanjut mengenai makna
dari tajdid dan purifikasi itu sendiri.
B. Rumusan
Masalah
Dengan berbekal keingin tahuan kita
tentang “Apakah yang dimaksud dengan tajdid dan purifkasi itu?”, maka dari itu
kami akan mencoba menyajikan karya tulis ini dan semoga dapat sama-sama kita
pahami dengan baik.
C. Tujuan
Tujuan
dari penulisan makalah ini antara lain :
1. Untuk
memenuhi tugas kuliah KMD II.
2. Dan
untuk menambah pengetahuan kita semua tentang Tajdid dan Purifikasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
TAJDID DAN PURIFIKASI
Tajdid secara bahasa ( lughawi ) berarti
pembaharuan, yakni proses memperbaharui sesuatu yang dipandang sudah usang atau
rusak. Adapun secara istilah,
sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Syatibi, seperti dikutip oleh Syaikh Alawi,
tajdid berarti menghidupkan ajaran Quran dan Sunnah yang telah banyak
ditinggalkan umatnya, dan memurnikan pemahaman dan pengamalan agama Islam dari
hal-hal yang tidak berasal dari Islam. ( Alawy bin Abdul Qadir As Saqaf, 2001:
22 ). Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamar tarjih ke XXII, 1989 di Malang
merumus makna tajdid sebagai berikut :
Dari segi bahasa, tajdid berarti
pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdid memiliki dua arti, yakni : (1).
Pemurnian, (2). Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna
dengannya. Pemurnian sebagai arti tajdid yang pertama, dimaksudkan sebagai
pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Al-Quran
dan Sunnah Shahihah (Maqbulah). Sedangkan arti peningkatan, pengembangan,
modernisasi dan yang semakna dengannya, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam
dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah Shahihah. Untuk
melaksanakan tajdid dengan pengertian di atas, diperlukan aktualisasi akal
pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh
ajaran Islam. Dalam hal ini Muhammadiyah berpendirian, tajdid adalah merupakan
salah satu watak dari ajaran Islam. Pengertian atau batasan makna tajdid ala
Muhammadiyah tersebut sesuai dengan pesan yang terkandung dalam hadits
Rasulullah yang berbunyi :
Dari
Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini (Islam) pada setiap
menghujung seratus tahun seseorang yang akan memperbaharui (mengadakan
pembaharuan) bagi agamanya” (Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud). (Muhammad
Syamsul Haq al-Azhim, 1979:380).
Salah satu ciri yang cukup menonjol
dalam gerakan Muhammadiyah adalah gerakan purifikasi (pemurnian) dan
modernisasi ( pembaharuan) atau dalam bahasa arab “tajdid” keduanya memiliki
perbedaan yang cukup mendasar. Pada mulanya, Muhammadiyah dikenal dengan
gerakan purifikasi, yaitu kembali kepada semangat dan ajaran Islam yang murni
dan membebaskan umat Islam dari Tahayul, Bid'ah dan Khurafat. Dalam
Muhammadiyah, purifikasi adalah gerakan pembaharuan untuk memurnikan agama dari
syirk yang pada dasarnya merupakan rasionalisasi yang berhubungan dengan ide
mengenai transformasi sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial,
atau masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Usaha pemurnian agama untuk membersihkan
Islam dari praktek-praktek syirk, takhayul, bid'ah dan khurafat, merupakan
bukti yang menjelaskan itu. Muhammadiyah berusaha mendongkel budaya Islam
sinkritik dan Islam tradisional sekaligus, dengan menawarkan sikap keagamaan.
Gerakan "pemurnian" (purifikasi) berarti rasionalisasi yang menghapus
sumber-sumber budaya lama untuk digantikan budaya baru, atau menggantikan
tradisi lama dengan etos yang baru. Perlu digaris bawahi terlebih dahulu di
sini bahwa program purifikasi adalah
ciri yang cukup menonjol dari Persyarikatan Muhammadiyah generasi awal, dan
hingga sampai saat sekarang ini.
B.
SYARAT-SYARAT
SESEORANG DIKATAKAN MUJADDID
Tajdid adalah amal Islami yang
disyariatkan dalam koridor pengertiannya yang benar, namun tidak semua yang
mengaku melakukan tajdid dikatakan mujaddid, karena harus memiliki
syarat-syarat mujaddid. Demikian juga
usaha tajdid hanya diakui bila sesuai dengan ketentuan-ketentuan dasar yang
telah digariskan para ulama, di antaranya:
·
Seorang mujaddid harus dari Ahlus Sunnah
wal Jamaah yang bebas dari kebid'ahan dan berjalan di atas manhaj Rasulullah
SAW dan para sahabatnya dalam seluruh urusannya. Oleh karena itu, tidak boleh
menetapkan ahlu bid'ah dan tokoh sekte sesat sebagai mujaddid, walaupun telah
mencapai ketinggian derajat dalam ilmu.
Seorang
ulama besar India bernama Syaikh Syamsul Haq al-'Azhimabadi rahimahullah (wafat
tahun 1858 M) menyatakan, “Sungguh aneh yang dilakukan penulis kitab Jami'
al-Ushul dengan memasukkan Abu Ja'far al-Imami asy-Syi'i dan al-Murtadha termasuk
mujaddid”. Lalu beliau lanjutkan, “Sangat jelas bahwa memasukkan kedua orang
ini ke dalam kelompok mujaddid adalah kesalahan besar dan jelas; karena ulama
Syi'ah walaupun mencapai martabat mujtahid dan ketinggian dalam martabat ilmu
serta masyhur sekali, namun mereka tidak pantas menjadi mujaddid. Bagaimana
mereka pantas, mereka sendiri merusak agama,
lalu bagaimana melakukan pembaharuan (tajdid)? Mereka mematikan sunnah, bagaimana dikatakan
menghidupkannya? Mereka menebar kebid'ahan, lalu bagaimana dikatakan menghapus
kebid'ahan? Mereka ini sebenarnya orang-orang sesat yang menghancurkan agama
lagi bodoh. Mayoritas karya mereka adalah tahrif, penyimpangan dan ta'wil,
bukan tajdid dalam agama dan tidak juga menghidupkan yang telah hilang dari
pengamalan al-Qur`an dan sunnah.” (Aunul Ma'bud, 4/180).
·
Memiliki sumber pengambilan ilmu dan
manhaj istidlal (metodologi pengambilan dalil) yang benar. Hal ini dilihat
kepada metodologi dalam belajar dan pengambilan dalil yang dibangun di atas
al-Qur`an, sunnah Rasulullah SAW, ijma', qiyas yang shahih (benar) dan tinjauan
maslahat yang tidak bertentangan dengan nash syariat.
·
Memiliki ilmu syar'i yang benar, hal ini
karena di antara aktivitas tajdid adalah mengajarkan agama, menebarkan ilmu
syar'i dan membela sunnah dan ahlinya, serta menghancurkan kebid'ahan.
Seorang
mujaddid harus seorang alim yang pakar dalam agama, da’i yang cerdas yang mampu
menjelaskan al-Qur`an dan sunnah Rasulullah SAW yang shahih kepada manusia.
Juga jauh dari kebid'ahan dan memperingatkan manusia dari perkara-perkara yang
diadakan dalam Islam, serta mengembalikan mereka dari penyimpangan kepada jalan
yang lurus yaitu kepada al-Qur`an dan sunnah Rasulullah SAW. (Fatwa al-Lajnah
ad-Da`imah, 2/169).
·
Mampu menempatkan dengan pas dan tepat
nash-nash syariat pada realita dan peristiwa yang terjadi.
·
Memiliki manhaj (metodologi) dan
kaidahnya yang jelas. Seorang mujaddid harus menyertai dalam aktivitas
tajdid-nya dengan manhaj dan kaidah yang jelas dalam segala keadaannya. Sebab,
mujaddid menisbatkan dirinya kepada Islam. Ini adalah nisbat ilmu dan ittiba',
bukan sekadar pengakuan dan klaim. Dari sini, maka kebenaran nisbatnya tersebut
dibangun di atas kaidah memahami Islam berdasarkan manhaj tidak benar memahami
Islam kecuali dengannya. Inti metodologi ini ada pada empat bidang:
1. Ushul lughah Arabiyah
2. Ushul at-tafsir
3. Ushul as-sunnah
4. Ushul al-fiqh
Sehingga,
tidaklah menjadi mujaddid orang yang mengenal segala sesuatu kecuali Islam atau
yang mengetahi Islam dengan selain manhaj ini.Di samping memiliki ilmu syar'i
yang benar dan kejelasan manhaj, juga harus dihiasi dengan akhlak yang mulia
dan memiliki kecintaan dan kasih sayang kepada manusia. Juga berusaha untuk
merealisaikan kemaslahatan dan semangat menyelesaikan permasalahannya serta zuhud
dan qana'ah dengan yang ada. Mengamalkan ilmunya, komitmen terhadap perintah
dan larangan syariat dan menjaga semua kewajiban dan perkara sunnah, serta
menjadi suri teladan yang baik untuk orang lain. Ini semua adalah sifat para
ulama yang masuk dalam pengertian Ahlus sunnah wal Jama'ah. Tidak dipungkiri
lagi, mujaddid termasuk thaifah manshurah yang dijelaskan dalam sabda
Rasulullah SAW ;
“Akan senantiasa ada
kaum dari umatku yang muncul atas manusia, hingga datang kepada mereka hari
Kiamat dan mereka dalam keadaan menang.” (HR. al-Bukhari).
·
Sangat antusias dalam menjaga ushuluddin
dan cabangnya dan tidak meremehkan satu perkara agamapun.
C.
ULAMA-ULAMA
MUJADDID
Para
ulama telah menyebutkan nama-nama para imam Ahlus sunnah yang memenuhi kriteria
untuk disebut sebagai mujaddid (pembaharu) dalam Islam,
berdasarkan pengamatan
mereka terhadap sifat-sifat mulia para imam tersebut beserta sekelumit dari
biografi mereka.
1. Umar
bin ‘Abdil ‘Aziz bin Marwan bin Hakam al-Qurasyi al-Umawi al- Madani. Beliau adalah khalifah yang tersohor
dengan keshalihan dan keadilannya, amirul mu’minin, imam tabi’in yang mulia,
penghafal hadits yang utama dan terpercaya. Lahir pada tahun 64 H dan wafat pada tahun 101 H. Ibunya adalah cucu sahabat yang
mulia Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, namanya Hafshah bintu ‘Ashim bin
Umar bin Khattab. Beliau diserupakan dalam keadilan dan kelurusan akhlak dengan
kakek beliau Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dalam sifat zuhud dengan
Hasan al-Bashri, dan dalam ketinggian ilmu dengan imam az-Zuhri. Imam asy-Syafi’i memuji beliau dengan
mengatakan, “al-Khulafa’ ar-Rasyidun (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk
dan bimbingan Allah Ta’ala) ada lima orang: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali dan
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz”.
Para ulama Ahlus sunnah
telah bersepakat untuk menobatkan beliau sebagai mujaddid (pembaharu) pertama
dalam Islam.
Imam Ahmad bin Hambal
berkata, “Sesunguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap
akhir seratus tahun orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah
Rasulullah SAW (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan
menghilangkan/memberantas kedustaan dari (hadits-hadits) Rasulullah SAW.
Kemudian kami melihat (meneliti sejarah), maka (kami dapati pembaharu) pada
akhir seratus tahun pertama (hijriyah) adalah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, dan
(pembaharu) pada akhir seratus tahun kedua adalah imam asy-Syafi’i.
2. Imam
asy-Syafi’i, Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin bin al-‘Abbas bin Utsman
al-Muththalibi al-Qurasyi al-Makki.
Beliau adalah imam
besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), pembela sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ahli fikih yang ternama, penghafal
hadits yang utama dan terpercaya. Lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun
204 H, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW. Imam Qutaibah bin
Sa’id memuji beliau dengan mengatakan, “Kematian imam Syafi’i berarti kematian
sunnah Rasulullah”.
Imam Ahmad bin Hambal
berkata, “(Kedudukan) Imam Syafi’i (di zamannya) adalah seperti matahari bagi
bumi dan sebagai penyelamat bagi umat manusia”.
Para ulama Ahlus sunnah
juga telah bersepakat untuk menobatkan beliau sebagai mujaddid (pembaharu)
kedua dalam Islam.
Imam Ahmad berkata,
“…(Pembaharu) pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah) adalah imam asy-Syafi’i. Imam Ibnu Hajar berkata: “Beliau adalah
mujaddid (pembaharu) urusan agama Islam pada akhir seratus tahun kedua
(hijriyah)”.
3. Hasan al-Bashri, Abu Sa’id al-Hasan bin Abil
Hasan Yasar al-Bashri.
Beliau adalah Imam
besar dari kalangan tabi’in, syaikhul Islam, sangat terpercaya dalam
meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lahir pada tahun
22 H dan wafat 110 H.
Beliau pernah disusukan
oleh Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan pernah didoakan kebaikan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
agar diberi pemahaman dalam ilmu agama dan dicintai manusia.
Imam Muhammad bin Sa’ad
memuji beliau dengan mengatakan, “Beliau adalah seorang yang berilmu (tinggi),
menghimpun (berbagai macam ilmu), tinggi (kedudukannya), sangat terpercaya,
sandaran dalam periwayatan hadits, dan ahli ibadah”.
Beliau termasuk yang
dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun
pertama (hijriyah).
4. Muhammab
bin Sirin, Abu Bakr al-Anshari al-Bashri.
Beliau adalah imam
besar dari kalangan tabi’in, syaikhul Islam, sangat wara’ (berhati-hati dalam
masalah halal-haram), sangat luas ilmunya lagi sangat terpercaya dan kokoh
dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
wafat pada tahun 110 H.
Imam Abu ‘Awanah
al-Yasykuri berkata, “Aku melihat Muhammad bin sirin di pasar, tidaklah seorang
pun melihat beliau kecuali orang itu akan mengingat Allah”.
Beliau juga termasuk
yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun
pertama (hijriyah).
5. Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin
‘Abdillah bin Syihab az-Zuhri al-Qurasyi al-Madani. Beliau adalah imam besar
dari kalangan tabi’in, penghafal hadits yang utama, yang disepakati kemuliaan
dan kecermatan hafalannya. Beliau wafat pada tahun 125 H.
Imam ‘Umar bin ‘Abdil
‘Aziz memuji beliau dengan mengatakan, “Tidak tersisa seorang pun (di jaman
ini) yang lebih memahami sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
pada az-Zuhri”.
Imam Ayyub
as-Sakhtiyani, “Aku belum pernah melihat (seorang pun) yang lebih berilmu dari
pada beliau”.
Beliau juga termasuk
yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun
pertama (hijriyah).
6. Yahya
bin Ma’in, Abu Zakaria al-Bagdadi.
Beliau adalah imam
besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), ahli jarh wa ta’dil
(penilaian terhadap para perawi hadits dalam bentuk pujian atau celaan) yang
ternama, penghafal hadits yang utama, dan gurunya para ulama Ahli hadits. Lahir
pada tahun 158 H dan wafat tahun 233 H.
Imam Ahmad bin Hambal memuji beliau dengan
mengatakan, “Yahya bin Ma’in adalah orang yang Allah Ta’ala ciptakan (khusus)
untuk urusan ini (membela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam),
dengan beliau menyingkap kedustaan para pendusta dalam hadits (Rasulullah SAW)”.
Beliau juga termasuk
yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun
kedua (hijriyah).
7. Imam
an-Nasa’i, Abu Abdir Rahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan.
Beliau adalah imam
besar, syaikhul Islam, penghafal dan kritikus hadits kenamaan, serta sangat
terpercaya dalam meriwayatkannya. Lahir pada tahun 215 H dan wafat tahun 303 H.
Imam Abu Sa’id bin
Yunus memuji beliau dengan mengatakan, “Abu ‘Abdirrahman an-Nasa’i adalah
seorang imam (panutan), penghafal hadits dan sangat terpercaya dalam
meriwayatkannya”.
Imam Abul Hasan
ad-Daraquthni berkata, “Abu ‘Abdirrahman an-Nasa’i lebih didahulukan (dalam
pemahaman ilmu hadits) dibandingkan semua ulama hadits di jaman beliau”.
Beliau juga termasuk
yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun
ketiga (hijriyah).
Catatan penting :
·
Banyak para imam besar Ahlus sunnah yang
terkenal dengan ketinggian ilmu dan pemahaman, serta kuat dalam menegakkan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi mereka tidak
dinobatkan oleh para ulama sebagai pembaharu dalam Islam di jamannya, padahal
mereka sangat pantas untuk itu, seperti imam Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal,
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lain. Hal ini disebabkan masa hidup
mereka yang tidak bertepatan dengan waktu yang disebutkan dalam hadits di atas,
dan ini sama sekali tidak mengurangi tingginya kedudukan dan kemuliaan mereka.
·
Termasuk para imam Ahlus sunnah yang
dinobatkan oleh sejumlah besar ulama Islam sebagai pembaharu dalam Islam di
abad ke-12 Hijriyah adalah imam syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab at-Tamimi
(wafat 1206 H).
·
Demikian pula yang disebut-sebut para
ulama sebagai pembaharu dalam Islam di abad ini, dua imam Ahlus sunnah yang
ternama: syaikh yang mulia Muhammad Nashiruddin
al-Albani dan syaikh yang mulia ‘Abdul ‘aziz bin Abdullah bin Baz,
semoga Allah merahmati semua ulama ahlus sunnah yang telah wafat dan menjaga
mereka yang masih hidup.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Satu ciri yang cukup menonjol dalam
gerakan Muhammadiyah adalah gerakan purifikasi (pemurnian) dan modernisasi (
pembaharuan) atau dalam bahasa arab “tajdid” keduanya memiliki perbedaan yang
cukup mendasar.
DAFTAR
PUSTAKA
Gerakan Pemikiran Muhammadiyah: Antara
Purifikasi dan Modernisas oleh Mujtahid. Diakses pada tgl 16 Maret 2012 pkl
16.06 wib
Cyberthief. Diakses pada tanggal 17
Maret pkl 14.16 wib
Arifin, MT. 1987. Gagasan Pembaharuan
Muhammadiyah dalam Pendidikan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Malang: Bagian Pengajaran AIK UMM.
http://www.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2391:gerakan-pemikiran-muhammadiyah-antara-purifikasi-dan
modernisasi&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210 (diakses tanggal 17 Maret
2012 pkl 17.05 wib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar